Posts

Showing posts from 2016

“mengapa” menjadi “untuk apa”

Doa, Ra, doa mengajarkan kita tentang kebaikan dariNya yang lagi-lagi membanjiri hambaNya. Diilhamkan kepada kita untuk meminta padaNya agar dekat denganNya, dikabulkan doanya meski dalam bentuk berbeda juga bagian dari takdir baikNya. Tapi kau tahukan Ra, kadang doa kita pulang tak sesuai yang kita harapkan, diwaktu yang tak kita inginkan. Lantas kita menduga; mengapa DIA tak mengabulkan pinta kita? Mengapa yang hadir berbeda? Mengapa? Mengapa? Bukankah pada pengabulan juga terdapat ujian?. Ujian kepercayaan. Ujian berbaik sangka pada tiap takdirNya. Hingga kita bisa mengubah pertanyaan dari; “mengapa” menjadi “untuk apa”. Ya, untuk apa semua ini kita perlu alami? Untuk apa doa kita diijabah berbeda?

Doa

“ Aku tidak memikirkan tentang pengabulan doa. Yang aku pikirkan bagaimana aku bisa berdoa, Karena ketika aku diberi ilham untuk berdoa, maka pengabulan akan selalu menyertainya” .  -Umar Bin Khatab, ra- Segara, tiap kita tentu pernah melangitkan doa bukan. Doa yang kita yakini akan diijabah olehNya diwaktu yang paling tepat dan dalam bentuk yang kita butuhkan menurutNya. Keyakinan kita bukan berdasar pada katanya tapi kata DIA yang tertoreh dalam firmanNya sejak 1400 tahun silam. Ra, bukankah kita juga telah mafhum bahwa semesta yang kita huni ini termasuk diri kita tak luput dari pengaturanNya? Daun yang gugur saja DIA telah tetapkan waktunya apa lagi perihal hambaNya. Termasuk doa kita. Kapan dan apa yang akan kita pinta juga termasuk didalamnya bukan? Sederhananya, seperti kata Umar diatas, doa yang kita panjatkan adalah ilham dariNya. Maka bukankah itu berarti ilham untuk meminta telah DIA sertakan pengabulan dari Nya? DIA mengilhamkan kita untuk berdoa Karena DI

Pulang

Pada dasarnya setiap manusia memiliki kerinduan untuk “pulang” kepada TuhanNya. Meski itu setitik kecil dihatinya. Manusia berangkat meninggalkan Tuhan melalui kelahirannya di dunia. Lalu, kembali “pulang” melalui perjalanan panjang di dunia hingga kematiannya. – Abdullah pada Kasva- (Muhammad Sang Pewaris Hujan) Pulang dan sebuah perjalanan panjang menuju rumah yang sejati. Ada dua  jalan yang DIA bentangkan; shiratalladzina an’amta’alaihim atau al-maghdlubi’alaihim. Pada hati dan akal kita DIA beri kecenderungan untuk memilih jalan mana yang akan kita lewati. Dan aku yakin tiap diri pernah merasakan kerinduan ini, kerinduan pada jalan terjal dan penuh pengorbanan. Kau tahu kenapa aku begitu yakin bahwa meski sekali dalam tarikan nafas, kita pernah merasakan rindu ini? Siapapun dan dari manapun kita berasal, sekelam apa hidup yang sedang kita jalani, kita pernah merasakannya. Kau tahu Umar bin Khatab bukan? Kau tahu bagaimana perjalanan “pulangnya menuju rumah”? Ad

Bandung 25

Image
Untuk kali kesekian, doa jangan pernah kau remehkan. Meski padanya terdapat tanda tanya namun percayalah, bukankah DIA telah berjanji untuk mengabulkan tiap pinta? Memasuki oktober ke 24, tidak, bahkan sebelum oktober datang menyapa, aku telah menguatkan hatiku sendiri untuk tak lagi berharap pada pintaku yang terus menggema dihampir 3 tahun belakangan ini. Telah ku hitung segala kemungkinan termasuk kemungkinan dikabulkan, namun tak ku temukan selain; aku harus merelakan. Baiklah, teruntuk Bandung, aku telah rela untuk menabung rindu lebih lama padamu, 25 ku telah ku ikhlaskan kita tak bertemu. Namun siapa yang bisa menerka takdirNya? Tepat 24 november 2016, DIA mempertemukan aku dengan apa yang ku pinta. Harapan yang tak lagi ku tuntut menjadi nyata segera di usia 25, yang telah ku relakan kefanaannya, kini benar-benar hadir dihalaman takdirku. 24 november 2016, setelah sebulan menjumpa 25, aku disini, di bumi pasundan yang telah lama ku rindukan. Benar, kesana bukan

Iman

Hari-hari ini kita dihadapkan dengan sebuah keterkejutan, hal diluar nalar materiil manusia. Mereka bertanya, akankah hal demikian dapat terjadi tanpa dorongan hasrat duniawi (baca uang)? Bagaimana mungkin orang sebanyak itu berkumpul hanya karena ketersinggungan terhadap penghinaan yang bukan ditujukan pada pribadi melainkan sebuah keyakinan? Bukankah mustahil dizaman ini ada yang bersedia merelakan hartanya untuk membela keyakinannya?  Maka izinkanlah dirimu untuk ku ajak bernolstalgia, mendatangi sejarah manusia-manusia terbaik disepanjang zaman, mempelajari apa yang telah mereka torehkan sebagai sebuah ketauladanan untuk kita pun generasi setelah kita. Tentang bagaimana iman merubah pandangan mereka terhadap dunia.  Iman, semacam dorongan yang menjadikan Bilal bin Rabbah bersedia dadanya ditindih batu sedang tubuhnya dihamparkan ditengah padang pasir yang begitu panas, namun mulutnya tak berhenti berkata ; ahadun ahad. Menjadikan Mus’ab bin Umair bersedia meninggalkan h

Terimakasih, Ibu

Memasuki akhir dibulan oktober dua puluh lima tahun lalu, barangkali adalah hari-hari terpayah untukmu. Rasa sakit yang telah Sembilan bulan membersamaimu, memasuki puncaknya. Saat itu apa yang menguatkanmu ibu? Apa yang membuatmu tetap kuat menerima sakit itu? Apa karena aku? Karena setelah berpayah dalam sakitmu kau bisa bertemu denganku? Ibu, bagaimana rasanya kau akhirnya melihatku tepat didepan matamu? Apa sakitmu telah mereda setelah aku benar-benar menghirup udara dunia? Ibu, aku pengalaman pertamamu, aku yang pertama kali membuatmu mencicipi rasa sakit Sembilan bulan lamanya. Setelah inipun aku masih menjadi yang pertama memaksamu untuk sedikit saja mencicipi nikmatnya tidur, siang maupun malam. Apa kau kepayahan ibu? Apa kau juga bingung atas tangisanku yang tak kau mengerti maksudnya? Ibu, aku sangat penasaran bagaimana kau melewati hari-harimu bersamaku dulu? Apa aku menyulitkanmu? Atau aku juga turut menghadirkan senyuman dihari yang kau lewati? Ibu, seiring be

Menjalani Hidupmu Sendiri(an)

Seberapa menarik kehidupan orang lain dimatamu. Seberapa inginnya dirimu menjadi sebahagia mereka dianganmu. Kau tak akan pernah bisa sampai pada semua itu sebab tiap jiwa telah ditetapkan jalan takdirnya. Bukankah hidupmu itu adalah menjalani apa-apa yang telah ditakdirkanNya untukmu sendiri, senja? Ada bahagia dan nestapa yang DIA gilirkan sebagai ujian untukmu, hambaNya. Tapi takdirNya bukankah ada andilmu juga didalamnya? Kau memilih satu takdir sehingga kau berlepas dari takdirNya yang lain. Maka ada pertanggung jawaban dari dirimu padaNya diakhirat kelak atas pilihanmu itu. Pilihan yang kau ambil adalah hidupmu itu sendiri saat ini dan nanti. Kau adalah pemeran utama dari cerita hidupmu itu. Maka kaulah yang akan menjalani hari-harimu bukan orang lain dan bukan menjalani pilihan hidup orang lain, seberat apapun jalan yang kau pilih. Dalam menjalani pilihanmu itu barangkali akan ada andil orang lain, berupa masukan ataupun saran. Hanya saja semua itu selalu kembali p

Sinergi

Apa kau percaya senja, tujuan yang sedang kau perjuangankan ini ternyata juga sedang diperjuangkan oleh orang lain. Lalu semesta menjalankan titah Tuhannya, mempertemukan kalian yang setujuan, dan kemudian membersamakan kalian atas nama tujuan yang sama. Tujuan-tujuan ini menjadikan dirimu dan mereka memilih bersepakat untuk bersama meraihnya. Merancang tahap demi tahap untuk selangkah lebih dekat pada tujuan kalian. Maka kau dapati dirimu dan mereka membincangkan banyak hal, dan kemudian membagi peran, kata orang pada umumnya kalian sedang bekerjasama. Bekerja bersama katamu disuatu jeda adalah sebuah kenikmatan dariNya. Bagaimana tidak, beberapa kepala dengan isi yang tentu berbeda meski memiliki niat yang sama memilih untuk menuangkan ide yang mana tak semua idenya bisa diterima, menahan egoisme diri. Tak jarang perdebatan dan adu gagasan terlontar dari lisan kalian, barangkali saat itu ada yang merasa kecil hati atau mungkin merasa tak dianggap, tapi semua itu tak menjadik

Gairah

Kau tentu telah tahu senja, bahwa setelah niat kau hidupkan, kau butuh sesuatu yang ternamai gairah agar niatmu yang telah mewujud itu dapat kau lestarikan disepanjang hidupmu. Gairah, jangan kau anggap remeh ia, meski ia hanya serupa penggembira tapi bila ia tak ada bahkan untuk berniat saja rasanya kau enggan. Gairah, kadang ia menjelma alasan dibalik tiap pilihanmu, ia serupa pendorong untuk mu melakoni sesuatu, menambah percaya akan dirimu saat kau tak melihat sesiapa disampingmu. Maka gairahmu serupa kesatria yang dengan pedang tajamnya menebas satu demi satu tunas keinginan untuk menunda niatmu. Tapi tahukah kau senja, gairah dapat naik dan turun serupa laut yang pasang surut. Maka gairah dapat menjadi sebaliknya bila kau salah meletakkannya. Pertanyaannya; pada apa kau letakkan gairahmu? Pada apa kau sandarkan seluruh alasan bergerakmu senja? Bila alasanmu kau sandarkan pada fananya dunia, maka saat dunia kau rasa tak lagi bersahabat denganmu tak ada yang tersisa da

Melangkahlah

Senja, kau ingat,ditiap pilihan yang kau ambil, kau adalah yang mudah memberi ruang pada kekhawatiran, membiarkannya membawa serta pertanyaan-pertanyaan; adakah cara yang ku ambil ini benar? Apakah aku tak kan menyesal? Adakah jalan ini semakin mendekatkanku pada tujuan? Tanya yang memberondong ditiap lengah maupun fokusmu itu lebih sering menjadikanmu menunda untuk melakukan apa-apa yang kau rencanakan bahkan sering pula ia menjadikanmu dengan berat hati merelakan niatmu pergi. Padahal senja, bukankah kau tahu rencana tak bisa kau lepas pisah dari realisasinya? Dan realisasi hanya bisa terjadi bila kau mau melangkah? Katamu masa depan sengaja DIA tutupi agar hambaNya mau melangkah, mengisinya dengan yang katanya mimpi-mimpi mereka. Maka bukankah itu berarti masa depan yang masih samar itu bisa saja berisi mimpimu? Lantas mengapa kau ragu untuk melangkah? Keraguan, kekhawatiran dan bahkan ketakutanmu, pernahkah kau berpikir bahwa itu semua juga hanya kemungkinan seperti ha

Niat

Adalah yang tak pernah selesai diuji meski ia telah usai kau tunaikan, niat. Senja, diperjalananmu yang telah menemui usia dengan bilangan yang dua, ada yang mesti selalu terpatri dalam pikiran dan lubuk hatimu. Adalah niat-mu dalam melakoni apa-apa yang tersebut sebagai kebenaran dan kebajikan. Niat, tentu ia tak bisa kau lihat namun serupa udara ia nyata adanya, membersamai dirimu disepanjang waktu. Tak satupun aktivitasmu yang terlepas dari niat, dari membuka hingga menutup mata. Dan kau tahu, senja, pada niatmulah segala upayamu diberi nilai olehNya. Niat menjadikan seseorang dimataNya teramat istimewa meski dengan lakon yang sederhana, atau sebaliknya niat dapat menjadikan seseorang begitu buruk dihadapanNya meski lakonnya teramat luar biasa dimata dunia. Sederhananya, nilai  kita dimata Rabb semesta alam ditentukan oleh seberapa benar niat kita, dan niat yang benar adalah lillah (karena Allah). Bukankah niat begitu besar andilnya dalam hidup manusia, senja? Maka pada

Teruntuk Kita Setelah Mereka

ALLAH, betapa Engkau begitu Maha Baiknya, kepada Sang Suri Tauladan telah Kau risalahkan Al-quran yang dengannya hamba-hambaMu berpedoman, didalamnya tak hanya berisi petunjuk jalan keselamatan melainkan hikmah atas segala perjuangan para Anbiya. Takjub sudah barang tentu, Al quran memang bukan kitab yang menceritakan detail peristiwa sejarah namun kejadian yang telah lalu dan bahkan manusia tak tahu persis ceritannya Engkau telah  firmankan dalam Al quranMu. Benar, Al quran adalah pedoman, sekaligus hujjah untuk Rasulullah sallahu ‘alaihi wasallam dalam mengemban amanahnya, maka hadirnya kisah para Nabi terdahulu seoalah bekal perjalanan baginya dan tentu bagi kita setelahnya. Terkisahlah Ibrahim as, pejuang dengan hujjah yang jelas dan terang. Darinya ALLAH memberi pelajaran bagi para penyembah berhala bahwa bagaimana bisa yang tak mendengar, tak berbicara dan tak bisa berbuat apa-apa dapat memberi bantuan. Lalu apa yang menjadikan manusia berani menyembahnya? Siapa yang

Beda, Kita

Selain takut akan tidak kepastiannya masa depan, akupun takut akan beda diantara kita. segarA, seperti yang pernah aku sampaikan pada mu sebelum-sebelumnya, bahwa aku adalah perempuan yang pikiran dan perasaanya penuh akan ketakutan. Diantara sekian ketakutan yang ku punya, aku takut tak mampu mengelola beda diantara kita. Padahal beda itu akan selalu ada dan tentu ia juga adalah niscaya. rA, aku memang belum mengenal siapa kamu, darimana asalmu dan kapan kita akan saling menemukan. Tapi aku sadar betapa sama yang nanti menjadikan kita bersama, akan selalu ada beda yang mengemuka. Lalu bagaimana kamu akan menghadapinya rA? Jika beda itu telah begitu mendominasi perbincangan kita, menghadirkan sekat untuk keakraban kita, apa kamu akan menghindar? Atau malah menumpahkan?. Aku, rA, aku akan menjadi yang menumpahkan, saat itu aku akan lebih banyak beradu dalam kata, lalu aku jadi ahli sejarah dan kamu, apakah kamu akan diam saja atau juga sama halnya denganku rA? Aku pernah me

Mendengar

Kali ini izinkanlah aku hanya mendengar saja, agar telinga ini peka, mata ini terbuka, hati ini menerima dan langkah dapat  ku ayun setelahnya. Pada langit yang entah hari keberapa membersamainya, diamanahkan menjadi yang mendominasi dalam mengarahkan, memahamkan hakikat jalan, menyemangati saat surut memainkan peran menjadikan mulut kadang payah mengejar laku dan letih meluruskan niat. Sapaan itu; kakak, menjadikanmu seolah tak boleh salah, tak boleh terlihat payah. Karena yang kau lakukan dapat menjadi warisan bagi penerus perjalanan. Bebankah? Beratkah? Tak bisa dipungkiri, kadang iri menghampiri saat lisan juga ingin berseloroh menyampaikan segala keluh dan kesal yang ada. Betapa inginnya diri tak diper-kakak-an, bukan, sungguh bukan karena ketidak sukaan namun karena jiwa tahu betapa aib juga masih mendominasi, betapa yang dilakukan masih jauh tertinggal dari yang dikatakan.  Maka tak salah bukan bila aku merindui nasihatmu? Karena bukankah sebaik-baik kita dalam per

Bandara

Image
Di Bandara, langkahmu diburu-terburu. Pandanganmu sekilas sekitar. Tak sempat bertukar senyum, apa lagi sapa jangan ditanya. Lalu, kau lupa dalam sibukmu ada sepi yang dengan riang menjumpa. Jabat tangannya, jangan menghindar, ia sedang memberimu waktu untuk mensyukuri ramaimu yang hanya sementara. Ia tersenyum padamu, malu-malu ia berkata; jangan risau, seperti ramai, aku juga sementara. Sepasang sepatu bertemankan ransel dibahu, berkelana ke tempat yang tak dikenalinya dan tak mengenalinya, beradu dengan waktu berharap ia ramah pada perjalanan yang sedang ditempunya. Sendiri sudah biasa tapi sepasang sepatu tahu ke tujuannya nanti dia akan melewati tempat yang sama ramainya namun entah mengapa terasa begitu ke-sepi-an. Kenalkan ia bandara. Bandara, tak ada yang menetap disana, hanya lewat sesaat untuk berucap selamat datang dan atau selamat tinggal. Di bandara, entah sebagai apa aktivitasnya, sama-sama sibuk dengan du

Sederhanalah, Cinta

Cinta, bukankah ia hanya sebuah rasa dari sekian rasa yang kau punya. Lalu mengapa kau begitu mengistimewakannya? Sederhanalah padanya, Pada cinta Ra, sepertinya aku telah menemukan apa yang semestinya aku pahami. Tentang sebuah rasa yang tiada beda dengan rasa lainnya, memiliki masa untuk dinikmati lalu direlakan pergi. Serupa bahagia pun lara, cinta juga tak selamanya membersamaimu disegala waktu, bukankah begitu ra? Aku selalu menjadi bagian dari mereka yang dalam harinya mempertanyakan maksud Tuhan dari takdir yang DIA tetapkan; mengapa begini? baiknya kan begitu? Kenapa harus aku? Dan sederet tanya lainnya termasuk perihal cinta. Lalu segala tanya itu tak pernah bertemu titik, yang ada hanya koma, kemudian balik pada tanda tanya.  Entahlah ra, segala tanya itu barangkali telah lelah menemuiku yang tiada jengah menjadikannya sasaran panah. Kadang ia memberi clue , dengan sesekali pada kunjungannya membawa serta masa lalu. Katanya, kata tanda tanya itu ra; tengoklah hari