Sastra, mewarna (Aku) Ruang
Sejak kapan mencinta sastra? Sejak aksara mewakili rasa, sejak metafora menjadi bahasa jiwa. Tak pasti kapan terjadinya, ketertarikan ini kian menggunung rasanya. Seperti fenomena gunung es, dari jauh terlihat kecil tapi didalamnya (sila dijawab sendiri). Kalau diingat-ingat, ini bermula sejak ketertarikanku pada tulis-menulis mengemuka. Awalnya hanya curhatan biasa. Namun, tak hanya disitu ujungnya, aku mulai merambah dunia membaca (etapi membaca sudah kulakukan sebelumnya, hehe) specialy pada bacaan bergenre sastra melankolik; prosa, puisi,de el el. Jatuh lah aku padanya, pada sastra yang menenangkan jiwa, pada sastra yang membawaku terbang sejauh-jauhnya, lantas bersembunyi tepat pada aksara-aksaranya. Benarlah sudah apa yang dikata Umar bin Khatab ra: “ajarkan anakmu sastra, agar anak yang pengecut menjadi pemberani ”. Ya sastra, memberanikan diri mengungkap yang semestinya, menjadikan bahasa sebagai penyampai pesan terhalus bagi para pendengarnya. Bagiku, mun