Sastra, mewarna (Aku) Ruang

Sejak kapan mencinta sastra?
Sejak aksara mewakili rasa, sejak metafora menjadi bahasa jiwa.

Tak pasti kapan terjadinya, ketertarikan ini kian menggunung rasanya. Seperti  fenomena gunung es, dari jauh terlihat kecil tapi didalamnya (sila dijawab sendiri).

Kalau diingat-ingat, ini bermula sejak ketertarikanku pada tulis-menulis mengemuka. Awalnya hanya curhatan biasa. Namun, tak hanya disitu ujungnya, aku mulai merambah dunia membaca (etapi membaca sudah kulakukan sebelumnya, hehe) specialy pada bacaan bergenre sastra melankolik; prosa, puisi,de el el. Jatuh lah aku padanya, pada sastra yang menenangkan jiwa, pada sastra yang membawaku terbang sejauh-jauhnya, lantas bersembunyi tepat pada aksara-aksaranya.

Benarlah sudah apa yang dikata Umar bin Khatab ra: “ajarkan  anakmu sastra, agar anak yang pengecut menjadi pemberani ”. Ya sastra, memberanikan diri mengungkap yang semestinya, menjadikan bahasa sebagai penyampai pesan terhalus bagi para pendengarnya.

 Bagiku, mungkin tak bisa menjadi seberani mungkin mengungkap yang rapat tersembunyi, maka sastra menjadi tameng ketika jiwa tak mampu membendung rasa. Bagaimana tidak, sastra memberi ruang seluas-luasnya bagi penulis maupun pembaca untuk menginterpretasikan karya sastra sesuai dengan ingin mereka yang terkadang tak bersisian, meski penulis memiliki maksud sendiri melahirkan karnyanya. Jadinya, aku berrterimaksih pada pencipta tiap puisi, prosa, novel, bentuk sastra lainnya, atas ruang yang kalian berikan.
Lebih dari itu,aku merasa dapat selalu menjdi aku ketika berinteraski dengan sastra. 

Terimakasih Rabbi karena telah mencipta bahasa, karena telah mengenalkanku pada sastra. 

Si Mentari Senja, 31 Mei 2014

tags: oart-oret, bahasa hati

Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan