Ibu, perjuanganmu, titik sadarku :’)
Aku memulai cerita ini dengan untaian maaf yang tak terhingga kepada seorang hamba yang telah mempertaruhkan nafasnya untuk menghadirkan aku di semesta yang ‘indah’ ini, hambaNya yang begitu mulia, begitu rapuh namun dilingkupi oleh penciptaNya dengan kekuatan yang tiada tara, dan ternamailah ia : “ IBU” Ibu, kata ini biasa saja bagiku, amat biasa malahan, karena kata ini sering bahkan setiap hari, di sepanjang hidupku selalu dihadapkan dengan kata ini. Maka tak ayal maknanya pun tak jauh berjarak dengan kata itu : biasa, bahkan begitu bias. Tak perlu kalian herankan diriku ini, bukan hanya dari kata hingga maknanya yang begitu berjarak dengan rasaku, namun lakon dari si Ibu ini begitu jauh dariku, kalaupun dekat ia hanya berkisar ‘pengabdian’ antar anak dan si Ibu yang hambar tanpa dibumbui rasa: sayang lagi cinta. Maka jadilah kami bermesra dalam rasa yang asing. Tak jarang kemesraan itu memperoleh ruang intimnya : ada kalimat sanjungan disana berbalut kehangatan dan doa an