Ibu, perjuanganmu, titik sadarku :’)

Aku memulai cerita ini dengan untaian maaf yang tak terhingga kepada seorang hamba yang telah mempertaruhkan nafasnya untuk menghadirkan aku di semesta yang ‘indah’ ini, hambaNya yang begitu mulia, begitu rapuh namun dilingkupi oleh penciptaNya dengan kekuatan yang tiada tara, dan ternamailah ia :
“ IBU”
Ibu, kata ini biasa saja bagiku, amat biasa malahan, karena kata ini sering bahkan setiap hari, di sepanjang hidupku selalu dihadapkan dengan kata ini. Maka tak ayal maknanya pun tak jauh berjarak dengan kata itu : biasa, bahkan begitu bias. 

Tak perlu kalian herankan diriku ini, bukan hanya dari kata hingga maknanya yang begitu berjarak dengan rasaku, namun lakon dari si Ibu ini begitu jauh dariku, kalaupun dekat ia hanya berkisar ‘pengabdian’ antar anak dan si Ibu yang hambar tanpa dibumbui rasa: sayang lagi cinta. Maka jadilah kami bermesra dalam rasa yang asing. Tak jarang kemesraan itu memperoleh ruang intimnya : ada kalimat sanjungan disana berbalut kehangatan dan doa antar kami : anak dan si Ibu. Namun, karena ia jarang maka yang sering adalah kemesraan kami dalam nuansa yang lain; sesal, kecewa, marah hingga membisu untuk beberapa waktu. “aish,, sesal sekali mengenangnya :’(“

Mungkin akan hadir pertanyaan : mengapa semua terjadi?, ya,, karena sedari awal kami telah berjarak:  kecil di tinggali, remaja pun sama hingga menginjak ‘hampir ‘ dewasa pun iya : aku. Itulah konsekuensinya : yang tak dekat akan selalu memiliki peluang berjarak. 

Tibalah dimalam itu, malam dimana semua yang berjarak terasa begitu dekat, bahkan untuk kematian sekalipun. Membuka mata ini, pikir ini dan tentu hati ini yang hampir jatuh pada ketidak peduli (aku, bukankah begitu menyeramkan??? :’( ). Dimalam itu, malam dimulainya perjuangan yang memayahkan, terkisahlah si Ibu dalam menunaikan tugas mulianya : melahirkan hambaNya (dedek bayi,, neomu bogoshipeo). Tak tanggung-tanggug, hampir empat jam bersitegang dengan waktu, menghela nafas satu dua, menangis tak kuasa, hingga hampir pasrah (ibu,, saranghaeyo,, neomu saranghaeyo ) dan tibalah melihat jerih nan payah hingga terucap hamdalah (alhamdulillah), namun, hiks hiks hiks (pause) : dedek bayi telah kembali padaNya, pada yang menciptanya, pada ALLAH yang kuasa :’(. Sebentar saja, dia sempat membuka matanya yang indah, sempat tersedak, namun tetap berujung ; kematian.

Tumpah ruahlah air mata menyambut kabar yang mengehentakan jiwa. Aku, sempoyongan karena di bangunkan dengan tiba-tiba, dan harus mendengar kabar yang tak biasa, jadilah aku: merasa seolah mimpi, hingga sepersekian menit terdiam dalam ketidak sangkaan. Lantas bergegas bersama yang mengabari : mengecek kebenaran berita ini. Tak berapa jauh, si dedek telah hampir tiba di rumah, ditidurkan dan aku melihat rupanya, hiks hiks hiks : menangis, tak kuasa membayangkan apa yang sedang berkecamuk dalam benak si Ibu: menangiskah? Marahkah? Atau bahkan putus asahkah?  (ya ALLAH jagalah hatinya, Ibu). Sejenak terhanyut dalam kemungkinan-kemungkinanku : seandainya,, seandainya,, hingga tersadar : ini adalah takdirNya, yang tak satupun makhlukNya mampu menggugatNya. 

Kemudian melangkah, menuju tempat perjuangan itu. Dipintu itu, Aku, sungguh tak sanggup melangkahkan kaki, nafasku seolah tercekak di tenggorokan, pipiku memanas menahan haru dan tangis yang sengaja tak ingin ku tampakan. Melihatnya : si ibu, tergolek lemah, menahan sakit, menahan lara. Beranikan diri bertanya: “ mana yang sakit Ibu?”, jawabnya ; “semuanya” ( ah.. bodohnya aku, tentu semua terasa sakit apa lagi hatinya). “ adek dengan siapa?”, tanyanya.  “ di rumah, sedang tidur di temani om”, jawabku. “bukan, adek nona dengan siapa?”, tanyanya lagi. (aku, bingung, seketika terbersit dalam hati : apakah ia belum tahu si dedek telah tiada?). “ di rumahnya Ia, dengan bibi”, aku membisu seketika. “ biarkan saja, biarlah, Ibu telah bersusah dalam melahirkannya, namun dia telah tiada”, katanya. Sunyi, aku mematung di sampingnya, hanya bisa berujar : “yang sabar ibu”, (kata-kata itu terasa sedikit egois di saat itu). Tiba waktu melepasnya, air mata si Ibu kian menderas saja, sungguh perpisahan itu : begitu memilukan. 

Disini, setelah menjadi saksi perjuangan itu, seprti di tampar, tamparan anugerah. Tersadar, aku telah sekian lama membangun tembok itu : tembok yang menambah jauh jarak anatara aku dan si ibu, tak lain tembok keegoisanku. Selalu berporos pada ; aku adalah anak, semestinya ibu yang lebih mencinta, yang lebih mengalah, yang lebih bersabar, yang lebih, yang lebih. Inilah penyuluh itu, semakin memperbesar nyali api keegoisanku. Aku tersadar (alhamdulillah), semoga belum terlambat untuk merajut benang-benang cinta antara aku dan si Ibu. Aku berikrar : menunjukan rasa sayang lagi cinta  kepadanya tanpa terhalangi oleh sekat malu : malu memeluknya, curhat padanya, mendoakannya dengan harapan kebaikan dan keberkahan. 

Inilah titik sadar itu, dan sungguh aku berharap, kita sekalian dapat mencintai dengan sebenarnya cinta kepada malaikat dunia kita ; ibu, tak perlu malu menunjukan rasa sayang padanya, karena waktu tak dapat kembali untuk mempertemukan kita dengan moment berharga bersamanya. Hargailah ia, karena untuk setiap helaan nafasnya ketika menunaikan tugas mulia ( melahirkan kita) bahkan untuk saat kita dibersamakan dengannya di  perutnya,  tak sanggup kita menggantinya.

·      Teruntuk ibu ku sayang : Ernawati, semoga ALLAH mengampunimu bu, dan atas bersipayah dalam perjuanganmu di malam itu, semoga ALLAH mengampuni dosamu.

Si Mentari Senja, 30 november 2013

Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan