Bandara

Di Bandara,

langkahmu diburu-terburu.

Pandanganmu sekilas sekitar.

Tak sempat bertukar senyum, apa lagi sapa jangan ditanya.

Lalu, kau lupa dalam sibukmu ada sepi yang dengan riang menjumpa.

Jabat tangannya, jangan menghindar, ia sedang memberimu waktu untuk mensyukuri ramaimu yang hanya sementara.

Ia tersenyum padamu, malu-malu ia berkata; jangan risau, seperti ramai, aku juga sementara.


Sepasang sepatu bertemankan ransel dibahu, berkelana ke tempat yang tak dikenalinya dan tak mengenalinya, beradu dengan waktu berharap ia ramah pada perjalanan yang sedang ditempunya. Sendiri sudah biasa tapi sepasang sepatu tahu ke tujuannya nanti dia akan melewati tempat yang sama ramainya namun entah mengapa terasa begitu ke-sepi-an. Kenalkan ia bandara.

Bandara, tak ada yang menetap disana, hanya lewat sesaat untuk berucap selamat datang dan atau selamat tinggal. Di bandara, entah sebagai apa aktivitasnya, sama-sama sibuk dengan dunianya. Lalu lalang, keramaian, troli yang riang berbunyi, desing pesawat tak mau kalah, serupa mantra yang menambah sepinya. Terlalu sepi untuk sebuah keramaian yang tak henti.

Bandara, bagiku ia terlihat perkasa namun tidak untuk rasa yang membersamainya. Banyak yang datang, untuk nanti pergi lagi, begitu setiap hari. Mungkin dia pernah mengeluh; mengapa hanya sepi yang tersisa disini? Mengapa pertemuan begitu singkat? Mengapa bersama dalam lama tak pernah menang? Namun bandara tetaplah bandara, ia dalam sepinya tetap menjalani hari yang tertakdirkan untuknya.

Barangkali kita sama, serupa bandara mendamba waktu yang lama untuk menikmati tiap pertemuan yang ditakdirkan Tuhan, berharap bisa memperdaya waktu, agar tak ada sepi yang mendominasi ruang yang nanti dibangun oleh jarak. Hanya saja, kita memang seperti bandara, bukan untuk sebuah kebersamaan yang lama pertemuan kita dihadiahi olehNya. Karena barangkali kita butuh sepi untuk tetap mengisi salah satu sudut hati, sebagai pengingat betapa ramai tak pernah abadi.


seNja, Agustus 2016
Bandara, sepimu tidak sendiri. 



Tags: RuangRasa

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan