Sederhanalah, Cinta

Cinta, bukankah ia hanya sebuah rasa dari sekian rasa yang kau punya. Lalu mengapa kau begitu mengistimewakannya? Sederhanalah padanya,
Pada cinta

Ra, sepertinya aku telah menemukan apa yang semestinya aku pahami. Tentang sebuah rasa yang tiada beda dengan rasa lainnya, memiliki masa untuk dinikmati lalu direlakan pergi. Serupa bahagia pun lara, cinta juga tak selamanya membersamaimu disegala waktu, bukankah begitu ra?

Aku selalu menjadi bagian dari mereka yang dalam harinya mempertanyakan maksud Tuhan dari takdir yang DIA tetapkan; mengapa begini? baiknya kan begitu? Kenapa harus aku? Dan sederet tanya lainnya termasuk perihal cinta. Lalu segala tanya itu tak pernah bertemu titik, yang ada hanya koma, kemudian balik pada tanda tanya.  Entahlah ra, segala tanya itu barangkali telah lelah menemuiku yang tiada jengah menjadikannya sasaran panah. Kadang ia memberi clue, dengan sesekali pada kunjungannya membawa serta masa lalu. Katanya, kata tanda tanya itu ra; tengoklah hari yang telah kau lewati, barangkali dapat kau temukan jawab yang kau nanti. Maka tanya tentang cinta sedikit demi sedikit telah mampu menjumpa jawabnya.

Ra, selama ini aku terlalu menjadikan cinta istimewa, memberi ruang lebih padanya dibanding rasa lainnya. Barangkali benar karena cinta menjadi rasa yang membawa serta rasa lainnya. Hanya saja karena menjadikannya istimewa telah membuatku salah mengartikan posisinya. Aku menjadikan nya tujuan bukan jalan. Maka ketika ku dapati disana tiada yang ku cinta, aku menjadi susah, lalu cinta tak ubahnya bencana. Bencana yang meremukan hati, mematikan logika, dan menghentikan langkah.

Ra, aku ingin memperbaikinya, mendudukan cinta pada posisinya. Menjadikan ia jalan untuk meraih tujuan, tujuan keberadaanku di semesta ini. Jika cinta telah ku pahami sebagai jalan, maka aku tak akan terkejut atau bahkan takluk dari ujian yang membersamainya bukan? Ujian cinta, tentu sama halnya dengan ujian lainnya. Maka berjuang untuk memenangkannya ialah sebuah usaha yang berhimpun dengan doa, agar Pemilik alam raya sedia memberi kemenangan atasnya.

Segara, aku ingin belajar mencintai sepertimu, mencintai sebuah penerimaan bahwa mencintai pantai tak harus menjadi yang selalu pasang, melainkan mencintai pantai membutuhkan surut juga. Surut, jarak yang teramat jauh bagi sebuah kebersamaan yang ingin kau miliki. Maka surut, menjadikanmu tahu posisi cintamu, cinta yang tak akan pernah bisa lari dari takdirNya.


seNja, Agustus 2016

tags: Segara, RuangRasa


Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan