Iman


Hari-hari ini kita dihadapkan dengan sebuah keterkejutan, hal diluar nalar materiil manusia. Mereka bertanya, akankah hal demikian dapat terjadi tanpa dorongan hasrat duniawi (baca uang)? Bagaimana mungkin orang sebanyak itu berkumpul hanya karena ketersinggungan terhadap penghinaan yang bukan ditujukan pada pribadi melainkan sebuah keyakinan? Bukankah mustahil dizaman ini ada yang bersedia merelakan hartanya untuk membela keyakinannya? 

Maka izinkanlah dirimu untuk ku ajak bernolstalgia, mendatangi sejarah manusia-manusia terbaik disepanjang zaman, mempelajari apa yang telah mereka torehkan sebagai sebuah ketauladanan untuk kita pun generasi setelah kita. Tentang bagaimana iman merubah pandangan mereka terhadap dunia. 

Iman, semacam dorongan yang menjadikan Bilal bin Rabbah bersedia dadanya ditindih batu sedang tubuhnya dihamparkan ditengah padang pasir yang begitu panas, namun mulutnya tak berhenti berkata ; ahadun ahad. Menjadikan Mus’ab bin Umair bersedia meninggalkan hidup mewahnya demi kebenaran yang diyakininya. Menjadikan Muhajirin bersedia meninggalkan kampung halamannya, harta bendanya hingga keluarganya untuk berhijrah ke Madinah. Menjadikan Anshar sebagai yang sedia membagi semua yang dimiliki kepada saudara seimannya Muhajirin, padahal mereka bukanlah yang telah mengenal satu sama lainnya. Maka bukankah iman itu asing bagi yang tak merasakannya?

Dorongan iman dihati sulit untuk didefenisi, apa lagi dimengerti bagi mereka yang tak mengimani. Maka tak perlu kalian mendebat iman yang tak mampu kalian jangkau defenisinya. Jangan anggap akal kalian itu mampu memahami segalanya, karena bukankah akal sama dengan mata yang terbatas pandangannya? 

Bersepakatlah untuk saling menghargai iman kita masing-masing, jangan melanggar batas bila kita masih mendamba hidup bersama.
          
                                                      
SeNja, November 2016


Tags: Inspirasi  


Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan