Ayah, (dan) Memoar Sebuah Rasa



Akan  Ada rasa cinta yang tetap tinggal meski  yang dicintainya telah berpindah tangan, kau tahu itu apa?
Rasa cinta ayah kepada anak perempuannya.

Ayah, tak banyak yang tahu mungkin, dibalik kekar tubuhnya, dibalik senyum optimisnya, dibalik jarangnya  bertutur sayang, ayah adalah yang mungkin merasa kehilangan ketika anak perempuannya di jemput orang.
Tak banyak yang tahu juga, hari dimana ayah memberikan tangan anak perempuannya ke tangan yang lain, adalah (mungkin) hari dimana puncak kecemasan ayah dalam hidup mencapai satu diantara titik klimaksnya.

“apakah anakku akan di banjiri kasih sanyang?, apakah anakku akan baik-baik saja hidup bersama tangan lain (#kamu)?”. 

Ya, tak banyak yang tahu, karena ayah adalah makhluk yang Tuhan cipta dengan membawa salah satu misi: rahasiakanlah apa yang kau rasa ditengah yang kau cinta. 

Ayah, bagaimana anak perempuanmu ini menjadi ayah?

Bagaimana menjadi yang selalu mampu memendam kecemasan, ketegangan dan nestapa yang kerap mengemuka dalam alur keluarga kita?
Bagaimana menjadi yang mewabahkan keyakinan bahwa bahtera keluarga kita akan baik-baik saja ketika badai menyapa?
Bagaimana menjadi  yang tak pernah lupa menyugingkan senyum ditengah lelah yang turut terbawa pulang? 
Bagaimana menjadi yang selalu bisa menjajikan terkabulnya mimpi-mimpi anakmu, padahal kau sendiri tahu betapa sulitnya mewujudkan itu semua? 
Ayah.. bagaimana anak perempuanmu ini bisa menggeser kedudukanmu di hati?
  
Ayah..
Apakah ayah lelah?
Apakah ayah makan dengan teratur?
Ayah sakit?
Berbicara dengan mu melalui telpon: “kakak kenapa seng pernah telpon bapak?”
Pause: aku terpaku diujung telfon itu, seketika mulutku membisu, lalu mencari dalih agar ayah mengerti. 

Ayah...  
Terimakasih karena telah mejadi ayah dari anak perempuan mu ini, anak perempuan yang selalu mampu melahirkan kata ‘iya’ dari mulutmu. Anak perempuan mu yang dengan alasan apa ayah selalu mempercayainya, bahkan kepercayaan itu begitu luas membentang. Anak perempuanmu yang tak akan pernah sempurna berbakti pada ayah.

Ayah..
Anak perempuanmu ini sedang berjalan menuju waktu dijemput orang, waktu dimana anak perempuanmu ini tak lagi bebas bergelayutan dipundakmu, tak lagi bebas merogoh saku ayah, tak lagi bebas mengalirkan hujan didepanmu karena tak mendapat apa yang diinginkan.
Ayah..
Semoga dihari dimana tangan anak perempuan ayah ini halal digengam tangan yang lain, pipih ayah tak dibanjiri hujan apalagi becek. 

Ayah..
Semoga dihari itu, ayah tetaplah menjadi yang yakin bahwa anak perempuanmu ini akan bahagia, maka berilah ridhomu ayah. 

Ayah..
Ayah tahu, kita mungkin jarang dengan kurun waktu yang lama hidup bersama didunia, maka mari berjanji ayah bahwa kita harus berusaha bersama di surga-Nya, seperti janji ayah dimalam itu dengan anak perempuanmu ini, sambil mengaitkan jari keliking bersama. 

Ayah.. anak perempuanmu ini mencintaimu karena ALLAH. 
 
taken from : http://hujandisenja.blogspot.com


Si Mentari Senja, 28 Juni 2014
Back song: Depapepe: wedding bell

Tags: ruang rasa, bahasa hati

Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan