Persinggungan : Pemakluman



Penat sudah segalanya, telah bertukar pikir hingga bertukar rasa, namun tak jarang kebuntuan yang sering menyapa karena ketidak sepahaman hingga menjadikan yang di pikir dan dirasa begitu menyesakkan karena maksud hati dan pikir kita tak searah, ini bukan dilema dalam diri namun ini dilema dalam jalinan antar sesama jiwa yang di warisi karakter  berbeda.
Telah terbiasa dengan proses kesepakatan tanpa di susupi perang kata yang mengemuka namun dengan penyatuan pikir dan hati diruang kesepahaman yang tak tergapai oleh indra, ini bukan berarti taklik buta tetapi ini merupakan satu diantara sekian anugerah yang dapat kalian rasa di majelis-majelis ‘tertentu saja’, menjadikan segala yang terasa kini begitu berbeda bahkan memuakkan, membuat apatis jadinya.
Awalnya bagiku segala yang dirasa dan dipikir dapat di terima dengan bertukar pendapat, namun segala telah berbeda, karena medan yang di hadapi juga berbeda. Pernahku memaksa, mengikuti semua yang ku mau, ini bukan pemaksaan tanpa nalar atau egoisme membabi  buta karena merasa pantas di dengar atau bla..bla…blaa, sungguh aku jamin bukan karena itu, melainkan karena gerah yang kurasa dalam majelis kita yang begitu tak bergairah (menurutku), semua merasa nyaman dengan kebiasaan yang kini tak boleh lagi di biasakan pada medan pertempuran ini, hingga aku sendiri yang selalu terpuruk di sudut amarah yang terlampiaskan pada tembok-tembok tak bernyawa, bahkan balasan kilat yang kian meyakinkan ku bahwa segala telah benar-benar berbeda.
Hingga.. obrolan di malam itu dengan seorang guru (thanks for your supporrt ^_^) memberiku sebuah mantra agar tetap bertahan dalam badai perbedaan, “anti harus membuka seluas-luasnya ruang pemakluman ukh, jangan hanya menilai seseorang dari sudut pandang anti”, she says. Pemakluman, terdengar begitu tak adil, di saat yang lain di beri ruang untuk tetap keukeh dengan pandangan dan kebiasaan mereka, aku justru di wajibkan untuk memakluminya, memaklumi bahwa itu adalah garis yang tak boleh kulalui, kalau pun iya, hanya mampu bersinggungan saja, tak bisa ku delete.
Pemakluman, aku hampir gila karenanya, karena harus membiasakan diri melihat dan menerima hal  yang menurutku tak wajar terlakoni di waku yang begini.  Tetapi, ini adalah cara dari sekian cara yang harus ku lakukan demi harmonisnya jalan yang sedang ku lewati, karena meski aku menyukai kesendirian berjalan di tengah malam,  namun untuk melewati jalan ini meski sedang terang benderang aku tetap memilih bersama kawan seperjalanan.
Pemakluman, aku sedang memulainya, meski di depan sana masih buram, yang artinya tak tahu sampai kapan akan bertahan, aku harus tetap melakoninya. Merawat titik persinggungan ini agar kita tetap selaras, menyatu dalam beda yang insyaALLAH mengkayakan kita, membingkai indah dalam frame keridhoan-Nya.
Kawan, bantu aku agar tetap berada dalam titik persinggungan ini, membuka seluas-luasnya pengertian, menerima sebesar-besarnya perbedaan, menjaga sekuat-kuatnya janji kebersamaan kita yang telah di saksikan ALLAH, rasul dan kemudian orang-orang beriman.
Kawan.. semoga aku dan kau selalu di anugerahi keistiqamahan di titik persinggungan kita ; Pemakluman.
Si Mentari Senja, 10 maret 2014




Tags : bahasa hati, orat-oret

Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan