Mengumandangkan Cinta

Membicarakan cinta tentu tiada mampu membuat kering tinta, tiada selesai hanya dengan metafora, seperti terbang melintasi langit yang entah dimana ujungnya.  Tapi mengumandangkan cinta artinya harus sedia bertanggung jawab atasnya. Sudahkah kamu bersedia untuk itu?

Cinta, kau sudah teramat sering mendengarnya bukan? Dimana kaki dipijak disitu kita selalu bisa mendengarkan cinta. Jadi cinta semacam nada dasar yang selalu disenandungkan siapapun dalam irama hidupnya. Maka dengarkanlah, akan ku ceritakan sebuah senandung cinta yang telah terkumandang sejak 1400 tahun silam.

Sebelumnya perkenalkan, sebuah kaum yang merindui hadirnya kebenaran namun menolaknya karena khawatir akan dunia yang telah digenggamnya, padahal mereka telah amat mengenal sosok pembawanya, seseorang yang meski telah didustai namun masih tetap dipercayai. Ah benar, bukan pembawanya yang didustai melainkan kebenaran yang dibawanya. Namun begitulah kebenaran selalu mampu memikat siapa yang mencintainya.

Lalu cinta berkembang didada tiap-tiap pemeluk kebenaran, namun seperti yang sering terdengar bahwa cinta selalu meminta dari yang mencintainya. Maka ujian itu pun mengemuka, 13 tahun merenda cinta, caci maki, penindasan hingga pemboikotan ibarat makanan yang harus sedia disantap. Tak berhenti disitu, cinta meminta mereka meninggalkan tanah lahir, harta, bahkan karib keluarga mereka. Tak pernah terpikir sebelumnya bahwa cinta mereka harus diuji sedemikan rupa. Mereka Muhajirin.

Bagaimana rasanya pindah dari rumah yang begitu nayaman ke tempat yang belum pernah kita pijak? Khawatir hingga takut sudah barang tentu senantiasa kita hirup.

Duhai, kita yang katanya mecinta, adakah terpikir sebelumnya bahwa apa yang kita sebut sebagai mengumandangkan cinta adalah gerbang dari pertanggung jawaban atas apa-apa yang dicinta?

Seperti cintanya mereka yang ternamai muhajirin, seperti cintanya mereka yang tersebut anshar. Seperti cintanya Hajar yang bersedia ditanggal dipadang gersang. Seperti cintanya Muhammad Saw kepada kita. Adakah cinta mereka berlepas dari pertanggung jawaban?

Ingatlah diri, ingatlah bahwa mencinta haruslah sedia menerima konsekuensinya, bahwa tiada bisa kita mampu menyakiti yang kita cintai apatah lagi membuatnya bergelimang salah hingga dosa. Maka jika telah berikrar mencinta simpul-kan ia pada iman dan takwa, karena hanya iman dan takwa yang membuat cinta berbuah jannah. Bukankah kita bercita saling mencinta hingga jannahNYa?


Si Mentari Senja, 17 Agustus 2015


*Sedang merindui langit, maaf atas jarak yang mengemuka pada cinta kita.
Tags: inspirasi, bahasa hati



Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan