Senandika : Tuli, Lalu (tak) Peduli
Sesekali
tak usah kau pedulikan omongan orang, dengarkan saja, saring omongannya. Kau
mungkin akan kesulitan menentukan mana yang menjadi pilihan, di saat itu
menjadi tuli sepertinya perlu.
Perkenalkan, adalah dia perempuan
yang katanya selalu menjadikan pendapat orang sebagai pertimbangan dalam
menentukan beberapa pilihan. Telah banyak dia dengarkan masukan demi masukan
yang pada akhirnya hanya dia seorang yang harus menentukan dan tentu menerima
segala konsekuensinya.
Dia, perempuan itu adalah yang
mungkin paling galau ketika memilih apa-apa yang pada dasarnya mudah dipilih.
“memikirkan perasaan orang lain”, ini menajdi point penting ketika dia
mengambil pilihan.
Bagaimana kalau menjadi tuli saja?
Bagaimana kalau menjadi tuli saja?
Bagi dia, ketika memilih menjadi
tuli berarti dapat membuatnya tak lagi peduli.
Mungkin dia bisa menjadi tuli, tapi
bagaimana caranya dia menjadi tak peduli? Karena menjadi tuli tak lantas
menjadikan dia tak peduli bukan?. Menutup telinga mungkin saja mudah dilakukan
tetapi menghalau rasa adalah usaha yang tak hanya butuh sekedar daya tetapi
juga keberanian untuk mengingkari diri sendiri.
Mungkin bukan soal tuli dan peduli,
tapi soal bagaimana dia melihat dirinya sendiri, melihat dia yang lebih
mengikuti perasaan orang lain, pendapat orang lain, bahkan mereka tak
benar-benar tahu siapa dia, tak pernah diposisinya, dan mereka bukan dia.
maka dengarkan saja pendapat mereka
tapi jika dia merasa tak mampu menjadinya, sulit menanggungnya, jujurlah, akui
saja jika tak mampu, kalau tidak menjadi tuli lah, karena sekuat apapun, seingin
apapun kita agar dimengerti dan disukai semua orang adalah hal yang imaji.
Si
Mentari Senja, 2 september 2014
Tags : bahasa hati
Comments
Post a Comment