Ikatan penuh Warna,, berjuta rasa



Ikatan diatas cahaya,, cahaya iman
Tentang sebuah ikatan,, ikatan yang tersemai atas jalinan meraih cintaNya


Ikatan yang telahir dari rahim cita yang sama


Ikatan ini : ukhuwah islamiyah (persaudaraan sang  muslim)

Persaudaraan ini, Persuadaraan yang bukan berdasar simpul nasab, yang bukan pula terlahir dari rahim yang sama. Melainkan ia dicipta oleh Sang pemiliknya dari simpul yang begitu kokoh,simpul aqidah (tauhidullah) dan dari pondasi yang mengakar ke langit, pondasi keimanaan. Keimanan ini, keimanan yang merasuk dalam palung hati penghuninya hingga membias pada amal saleh yang menyuguhkan kenikmatan bukan hanya untuk penghuninya seoarang, melainkan untuk saudara penghuninya.


Maka jadilah ikatan ini, ikatan yang mampu merontokan segala bentuk strata sosial manusia dan mampu menjadikan penghuninya merasa begitu bahagia atas hal yang ia bagikan kepada saudaranya. Seperti lelaki yang satu ini, lelaki yang banyak berbagi ; Ad-Darani, “Suatu waktu”, katanya, “sedang ku suapi salah seorang saudaraku dan tiba-tiba ku rasakan lezat makanan itu dikeronfgkonganku”1. Dan tentu ikatan ini ingin dijadikan pemilikNya sebagai rabun yang menyakitkan mata dan hati musuh-musuhNya. 


PemilikNya telah memotret indahnya ikatan ini pada bingkai sejarah hamba-hamba pilhanNya yang membersamai kekasihNya, para peretas jalan aqabah, Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya yang mulia. Pada bingkai itu, mari sejenak  kita tengok kisah yang mengahangatkan ikatan ini, kisah hijrah sang Muhajirin ke tanah yang ALLAH rahmati, Madinah Al Munawarah, ke tanah sang Anshar. 


Kisah itu termaktub ketika sesampainya Rasulullah saw ke Madinah, beliau melakukan tiga hal, salah satunya dengan mempersudarakan antara muhajirin dan Anshar, maka disana, diantara mereka, beliau mepersaudarakan Abdurrahman bin ‘Auf (muhajirin) dengan seorang Anshar yang kaya raya : Sa’ad ibn Ar-Rabi’. Sa’ad ibn Ar-Rabi’ yang mengetahui kondisi saudara yang dipersaudarakan dengannya ini, begitu tulus dan ikhlas ingin membagi rata semua yang dimilikinya yang memang berjumlah dua; harta, kebun kurma, dan bahkan istrinya. Namun dengan begitu lembutnya Abdurrahman berkata, “Tidak Saudaraku,, tunjukan saja padaku jalan menuju pasar”2.


Begitulah ukhuwah seperti yang di tulis Salim A. Fillah dalam bukunya Dalam Dekapan Ukhuwah; “kita tersambung bukan untuk saling membebani melainkan untuk saling tersenyum memahami dan saling mengerti dengan kelembutan nurani “. Ya, mereka telah melukis dengan indah ukhuwah itu, ia bak rumah yang teduh tempat para penghuninya merenggangkan segala peluh yang dirasa, ia .. ukhuwah itu siap menjadi benteng yang kokoh, yang akan menghadang segala onak dan duri dalam derap perjuangan agar tak meluluhlantakan keyakinan yang dipegang. 


Namun, mari .. sejenak kita berhenti untuk menginsyafi bahwa ikatan ini pun tak selalu seperti hari yang cerah yang menerbitkan seyum pada wajah-wajah penghuninya. Melainkan ikatan ini sesekali seperti yang ditulis Salim A. Fillah pula pada bukunya Dalam Dekapan Ukhuwah, akan menjelma menjadi cinta yang lekat bagai api dan kayu, bersama menyala, saling menghangatkan rasanya, hingga terlambat untuk menginsyafi bahwa tak ada yang tersisa dari diri-diri kecuali debu dan abu. Atau ikatan ini begitu akrab bagai awan dan hujan, merasa menghiasi langit, menyuburkan  bumi, dan melukis pelangi, namun tak kita sadari hakikatnya kita saling meniadai. Lalu disatu titik kita berhenti dan memahami adakah mungkin ikatan ini telah terkecualikan dari ikatan yang berpondasikan iman, hingga terkadang saling menasehati pun tak ubahnya dua lilin, saling mencahayai tetapi hakikatya masing-masing habis dimakan api. 


Maka dititik ini…. dititik ini kita menepi dan menginsyafi bahwa ukhuwah adalah buah dari iman, ketika iman yang dimiliki terhubung pada pemilikNya dengan amat rapuh, ukhuwah itu tak ubahnya minyak dan air dalam satu bejana, bersama tapi tak saling menyatu. Sebaliknya jika ia terhubung dengan kokohnya, ukhuwah itu akan menjadi senjata yang akan meluluh lantakan makar musuh-musuhNya. 


So…Mari kita benahi niat-niat ini agar iman yang kita milki selalu terhubung ke langit hingga mampu menghasilkan cita rasa ukhuwah yang menyejarah, layaknya Abdurrahman ibn ‘Auf dengan Sa’ad ibn Ar-Rabi’, layaknya Muhammad ibn Abdullah dengan Abu Bakar Ash Shidiq.




#Tanah gersang ini ; Si mentari senja.. berharap menjadi saudara yang memberi semyum penuh gelora.


Catatan:

1 : Bekerja maka keajaiban, Salim A. Fillah, “Dalam Dekapan Ukhuwah”

2 : Senikmat berbagi, Salim A. Fillah, “Dalam Dekapan Ukhuwah”

Tulisan ini terinfluence dari ukhuwah yang kunaungi dan dari buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A. Fillah, semoga ALLAH merahmati beliau 

Si Mentari Senja, 13 Juli 2103

Taggs; Inspirasi 


Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan