Teruntuk Senja,,

Apa kabarmu di kaki langit sana? Apa tiap kepulangan semakin mendewasakanmu dalam merelakan?

Kau pernah berkata padaku; seperti halnya aku, hidup ini hanya sesaat, sementara.  maka mengapa mesti mati-matian menggenggam apa yang hanya dititipkan padamu.

Hari itu aku masih ngeyel senja, merasa bahwa keserba kemungkinan dalam hidup ini dapat mengantarkanku pada apa yang ingin ku raih. Berbekal upaya dan doa, kataku pada mu tempo itu. Tapi aku lupa senja, lupa hakikat apa-apa yang kita genggam meski diraih dengan susah nan payah, hanyalah titipan.

Maka sebuah kerelaan datang padaku, ia memintaku menentukan pilihan diantara hal yang sama-sama menghadirkan tanda tanya sekaligus luka. Bila ku pilih yang satu, di hatiku bersemayam kekecewaan yang dalam perjalanannya semakin menggunung saja, pemakluman tak lagi mempan ku jadikan tameng. Namun memilih yang lain membuatku di masa depan nanti berhadapan dengan diriku sendiri, diriku yang barangakali menyesal telah menentukan pilihan ini.

Senja, sulit rasanya menjadi yang mematahkan harapan sendiri, tapi rasaya lebih sulit menggenggam yang sulit mengerti. kedua pilihan itu hanyalah titipan, dan keduanya sama-sama menghadirkan luka.

Ia titipan, seperti katamu, tak akan selamanya disisi bukan? Luka ini akan segera pergi bukan?



Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan