Bulan, akhir sebuah rasa

Bersandar pada dahan yang lapuk, berharap pada angin yang tak pernah setia pada satu arah, seperti aku pada kamu, matahari.

Ini kali keberapa aku mengatakannya? Aku tak pernah tahu persis tapi telah kuputuskan, sepertinya melepas adalah cara terampuh untuk bahagia, kamu pun menginginkannya bukan?

Aku adalah tawanan setiamu dan anehnya aku bahagia menerima tiap luka yang hadir atas penawanan itu. Bukankah ini bodoh? Tak seorangpun di dunia ini menginginkan luka namun ada yang dengan  sadar menerima tiap perih yang hadir atas luka yang kian menganga. Tiap kali penyesalan itu menghampiri, tiap kali itupun ia menerima rasa sakit itu. Aku adalah bagian dari  mereka.

Tapi itu dulu, beberapa waktu sebelum aku memutuskan melepasmu. Melepasmu, tak lagi berprasangka itu adalah aku. Melepasmu, membentangkan ruang penerimaan seluasnya untuk takdirNya.

Aah.. kamu tahu meskipun aku terlihat  begitu percaya diri akan hal ini namun sungguh aku sedikit meragu maka aku tak akan hanya sekedar berjuang melainkan aku akan mati-matian membunuh tiap harap yang hadir pada pertemuan-pertemuan kita.

Bukankah Aku telah bersedia dengan waktu yang lama menerima perih atas prasangka yang hadir pada pertemuan kita?, maka meski dengan waktu yang entah berapa aku akan berjuang untuk melepasmu.

Dan...... Bukankah kita  adalah dua jiwa yang tak memiliki rasa yang sama? Kita adalah bulan dan matahari.

 Nan ijeureoyo, anyeong :’)

take : www.teknoislam.com




Si Mentari Senja, 14 April 2015

Masih dibersamai lee seung gi – last word

Tags:  #kamu

Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan