Hari 14

Barangkali hanya dengan berdamai kau bisa dengan mudah melangkah, 
Bukankah DIA tahu segala?

Dua minggu, waktu berlalu begitu saja. Sialnya aku masih begini-begini saja, berkutat dengan masalah yang semakin diipikir semakin mlipir. Aku tertinggal untuk kesekian.

14 hari, rasanya ini waktu yang cukup untuk mengambil sikap. Aku pun telah benar-benar merasa bahwa tak ada lagi waktu yang tersisa untuk berleha-leha, tak boleh (lagi) memberi ruang kepada ketakutan-ketakutan menjajah pikiran.

Bukannya aku membenci pikiranku, hanya saja aku tak cukup berani melawan ketakutan yang terlahir dari pikiranku sendiri.  

Sepersekian menit, kesadaran  itu hadir  menyentak pikiran, melumat hati yang tak lagi lapang.

...................................................

Gerimis. Tetes-tetesnya mulai menggenangi ruas pipi. Sekelebat bayangan memenuhi memory. Mendapati seorang perempuan dengan lantangnya menuturkan satu demi satu mimpinya, seakan hari esok sudah pasti dia jumpai. Lalu, bayangan berikutnya memaksa mengubah rasa, perempuan itu sedang menyusuri ruas-ruas jalan dengan wajah tertunduk  dan nafas yang tarikannya bisa didengar oleh yang lainnya. Lirih, mulutnya mengucap sebaris kalimat : " lelah. Maaf. tapi bisakah seseorang menculik ku? Hahaha.. konyol!"

Detak jam berputar tanpa peduli sektiar. Di bibir pantai, dia sedang duduk sambil mendongak ke langit. Ini adalah caranya menemukan tiap mimpi yang dia titip di langit, katanya : "ku letakan di langit agar selalu dipeluk  Sang pemilik hidup". 

Senyum merekah  meski masih dengan gerimis yang sama namun ada yang sedikit berbeda. Dia telah menemukan keberaniannya. Aku ingin berdamai, menerima takdir-Mu Tuhan, ku harap Kau mengizinkan, katanya.



Si Mentari Senja, 10 desember '14

tags: orat-oret, ruang rasa

Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan