Cinta, Lalu Percaya(?)
ku pikir cinta dan rasa percaya adalah serupa pena dan tinta,
tiada bisa disebut pena tanpa tinta, pun begitu pula tinta. Hingga dipersimpangan
itu, cinta muncul tanpa menggandeng percaya, dan percaya tertinggal disudut sana
mempertanyakan cinta.
Cinta; “ aku pikir
aku adalah jawaban, bukan pertanyaan. Aku sangka kau sudah paham, lantas untuk
apa sebuah penjelasan?.Bukankah kau telah mengaku bahwa aku cinta? Bukankah kau
pun menyadari konsekuensi dari menerimaku disisimu, percaya? Lantas mengapa kau
tak selalu bisa menyertai ku? Mengapa selalu ada tanya diantara kita?
Percaya; “ cinta, bagaimana bisa kau meyakini hal demikian? Bahwa
kita adalah kesatuan sedang kau sewaktu- waku dapat menjelma kelabu dilangit
pikiranku? Lalu bagaimana aku bisa selalu seperti inginmu sedang tak satupun
pejelasan yang kau berikan saat segala menghadirkan tanya? Apa karena mereka
mendefinisikan kau buta lantas aku tak punya hak untuk bertanya, cinta? Bukankah
untuk selalu disisi satu sama lain setidaknya kita pun butuh saling tahu dulu?
Percaya;“ karena kita terikat
masa, padanya aku tak ingin kita menyerah cinta. Maka kita butuh lebih dari
sekedar tahu agar bersama kita mampu menjawab segala tanya yang mengemuka
disetiap pagi dan senja kita”.
Sebab cinta dan kepercayaan adalah dua hal yang tidak
selalu menjadi sebab dan akibat untuk satu sama lainnya. Cinta tak selalu mampu
menerbitkan rasa percaya, pun percaya tak bisa selalu diberikan kepada yang
dicinta. Maka bukankah men(di)cinta(i) saja tak cukup?
SeNjA,
28 April 2016
Setelah mencinta jagalah percaya, pun sebaliknya
Tags: ruangRasa
Comments
Post a Comment