Sebuah
cita-cita besar,, sebuah visi yang agung dan tujuan yang kekal,,
semestinyta ia mampu menjadi HIJAB yang TEBAL, KOKOH, dan KUAT bagi kita
agar terhindar dari MENDURHAKAI ALLAH dan RasulNya..
Akan ada masa dimana semua terasa tak bergairah, terasa tak berukhuwah. Lalu lingkaran kita melonggar hingga tak berpola. Mimpi kita menerawang di udara, pikir kita saling beradu dalam kata. Kaki kita saling menjauh dalam langkah. Apa lagi rasa, jangan ditanya, ia tak lagi peka menyambung kita. Lantas diam, kita memilih menunggu dalam diam. Menunggu pada seruan yang menggerakan kita. Pada langkah yang mendekatkan kita. Pada rasa yang merekatkan kita. Tapi, tahukah kita? Menunggu tak selamanya berbuah jawab yang kita harap. Karena kadang yang kita tunggu pun sedang menuggu (kita). Maka luruhkanlah menunggumu, jangan jadikan ia candu, meski memulai dan menunggu tak sesederhana itu. Dear langit :’ SeNja. 19 Juli 2016 sedang berpayah menggusur menunggu tags; RuangRasa
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kerinduan untuk “pulang” kepada TuhanNya. Meski itu setitik kecil dihatinya. Manusia berangkat meninggalkan Tuhan melalui kelahirannya di dunia. Lalu, kembali “pulang” melalui perjalanan panjang di dunia hingga kematiannya. – Abdullah pada Kasva- (Muhammad Sang Pewaris Hujan) Pulang dan sebuah perjalanan panjang menuju rumah yang sejati. Ada dua jalan yang DIA bentangkan; shiratalladzina an’amta’alaihim atau al-maghdlubi’alaihim. Pada hati dan akal kita DIA beri kecenderungan untuk memilih jalan mana yang akan kita lewati. Dan aku yakin tiap diri pernah merasakan kerinduan ini, kerinduan pada jalan terjal dan penuh pengorbanan. Kau tahu kenapa aku begitu yakin bahwa meski sekali dalam tarikan nafas, kita pernah merasakan rindu ini? Siapapun dan dari manapun kita berasal, sekelam apa hidup yang sedang kita jalani, kita pernah merasakannya. Kau tahu Umar bin Khatab bukan? Kau tahu bagaimana perjalanan “pulangnya menuju rumah”? Ad
senja, salah satu misteri di dunia ini barangkali adalah ketidak tahuan kita pada apa yang ternamai ke-tepat-an. Lalu kita sibuk berjuang dengan prasangka berujung bersama meski tak ada garansipun disana. Kita melaju dengan keyakinan utuh, tanpa memberi ruang pada kemungkinan lainnya. Tepat, adakah yang tahu dengan persis seperti apa derajat samanya? Adakah yang bisa melacak serupa apa sandinya, hingga bila ada se- yang-hendak-menjadi-pasang merasa telah saling dipertemukan dapat ‘memastikan’ kebersamaan. Tanpa dihinggapi takut patah ditengah perjuangan. Dan nyatanya kita tak benar-benar bisa menerka apa itu ukuran bersama. Kita hanya bisa memperjuangkannya saja, meraba-raba diri yang tepat dan waktu yang memihak. Usaha kita, dapat lebih dari sekali, lebih dari se-orang yang kita perjuangkan. Maka siapkan hati yang sedia patah bila sedari mula telah begitu mengharapkan bersama dia-saja, sebab ukuran dengan siapa dan kapan itu ada padaNya. senja, kau boleh saja
Comments
Post a Comment