Teruntuk Kita Setelah Mereka

ALLAH, betapa Engkau begitu Maha Baiknya, kepada Sang Suri Tauladan telah Kau risalahkan Al-quran yang dengannya hamba-hambaMu berpedoman, didalamnya tak hanya berisi petunjuk jalan keselamatan melainkan hikmah atas segala perjuangan para Anbiya.

Takjub sudah barang tentu, Al quran memang bukan kitab yang menceritakan detail peristiwa sejarah namun kejadian yang telah lalu dan bahkan manusia tak tahu persis ceritannya Engkau telah  firmankan dalam Al quranMu. Benar, Al quran adalah pedoman, sekaligus hujjah untuk Rasulullah sallahu ‘alaihi wasallam dalam mengemban amanahnya, maka hadirnya kisah para Nabi terdahulu seoalah bekal perjalanan baginya dan tentu bagi kita setelahnya.

Terkisahlah Ibrahim as, pejuang dengan hujjah yang jelas dan terang. Darinya ALLAH memberi pelajaran bagi para penyembah berhala bahwa bagaimana bisa yang tak mendengar, tak berbicara dan tak bisa berbuat apa-apa dapat memberi bantuan. Lalu apa yang menjadikan manusia berani menyembahnya?

Siapa yang tak mengenal Nuh As, perjuangannya hampir merampung 1000 tahun namun pengikutnya tak mampu mencapai dua nol dari 1000 tahun itu. Siang malam telah beliau koarkan, namun bukannya bertambah malah berkurang. Bahkan seruan itu tak mampu mencapai telinga mereka bersebab tiap kali diseru tiap kali itu pula mereka memasukan jari ke kedua telinga mereka. Namun ALLAH meneguhkan posisinya, membuktikan kebenaran dari tiap seruannya, bahtera raksasa dan banjir bandang menjadi jawaban atas pintanya. Maka kisah Nuh As semakin menguatkan bahwa menyeru kebenaran selalu penuh ujian, lama titian jalannya, tak ditaburi wewangian bunga bahkan dapat bersimbah darah.

Dan Musa mengurai hikmah selanjutnya, menambah nikmatnya bekal perjuangan. Bilakah kau jadi Musa As, dapatkah kau se-PD-nya? Musa adalah yang terbata dalam berbicara namun ALLAH memintanya untuk memperingatkan Fir’aun yang mana adalah ayah angkatnya. Dapatkah kau bayangkan apa yang berkecamuk didada Musa As? Tapi dia tak mundur, bersaudarakan Harun As yang mana dia minta kepada ALLAH sebagai teman perjuangannya, dia menghadap Fir’aun. Mengajak menyembah yang Esa, yang dapat menghidupkan dan mematikan manusia, namun kepongahan Fir’aun semakin membuatnya jauh dari kesadaran akan dirinya sebagai hamba. Maka lautan menjadi saksi betapa kesadaran saat sakratul maut tiba sudah tak ada gunanya, Fir’aun telah menyianyikan kesempatannya.

Namun perjuangan Musa tak sampai disitu, kaum yang diselamatkannya kini menjadi ujian baru baginya. Telah mereka saksikan tongkat yang berubah jadi ular, lautan yang terbelah, makanan yang turun dari langit, namun betapa sampai hati untuk sebuah pinta memasuki tanah yang ALLAH telah jamin keselamatan didalamnya, mereka berkata pada Musa; pergilah kamu berperang bersama Tuhanmu, sesungguhnya kami menunggu disini saja. Tuhan siapa? Bukankah Tuhannya Musa adalah Tuhan mereka juga? Maka dari Musa kita belajar kesabaran dalam menyeru kebenaran, disana tak hanya sekali uji yang datang bahkan kemenangan juga adalah ujian.

Rentetan perjuangan para Nabi terdahulu yang terfirmankan dalam Al quran seolah ALLAH ingin menegaskan kepada kekasihNya bahwa Muhammad, engkau bukan yang pertama mengawali perjuangan tauhidullah ini melainkan engkau adalah yang terakhir datang setelah yang lainnya, maka sama halnya dengan mereka, perjalananmupun akan penuh ujian namun kau tak akan AKU tinggalkan.

Dan teruntuk kita yang semoga dalam barisan yang sama dengan Sang Suri Tauladan, dengarlah; bila kekasihNya saja DIA uji dengan kemenangan dan rasa sedih yang silih berganti lantas mengapa kita merasa harus selalu bahagia dijalan sukar lagi mendaki ini?


SeNja, September 2016
Berharap setiap pemahaman dapat menjadi alasan untuk tetap melanjutkan perjalanan




Tags: Inspirasi

Comments

Popular posts from this blog

Menunggu, Jangan(?)

Pulang

Ketepatan